Kawin Beda Agama, Emang Bisa?

Pertanyaan

Saya seorang karyawan swasta beragama islam. Saat ini saya punya pacar beragama katolik. Meski kami beda agama, kami ingin melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius yaitu perkawinan. Sedangkan masing-masing dari kami ingin tetap teguh pada agam yang kami anut. Apakah tetap bisa melangsungkan perkawinan beda agama?

Ulasan Lengkap

Syarat Sah Perkawinan

Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat yang diperlukan agar perkawinan dianggap sah. Syarat tersebut tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), khususnya pada pasal 2 ayat 1 UUP yang berbunyi:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”

Dengan kata lain, sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Selain itu, perkawinan dianggap sah apabila tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun ketentuan mengenai pencatatan perkawinan telah diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam, maka akan dicatat oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sementara bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan di Kantor Catatan, sebagaimana diatur pada Pasal 2 PP No. 9/1975.

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Perkawinan di Indonesia

Merujuk pada pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa hukum di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama, melainkan menyerahkannya pada ajaran dari agama masing-masing.

Namun yang menjadi masalah apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama.

Bagaimana Pandangan Hukum Agama?

Dalam islam seorang wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Sama halnya dengan ajaran Kristen yang melarang perkawinan beda agama (II Korintus 6: 14-18).

Lebih lanjut, larangan dalam hukum agam islam merujuk pada aturan mengenai kafaáh, yaitu keseimbangan, keserasian, dan kesepadanan antara calon suami dan isteri. Kalau pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan ditinjau dari konsep kafa’ah maka prinsip kesejajaran dalam masalah agama yang dianut oleh masing-masing mempelai harus sama.

Hal tersebut ditegaskan kembali oleh pasal 61 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan:


“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu (kafa’ah)karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien”

Potensi Masalah dalam Perkawinan Beda Agama

Selain hukum perundangan-undangan dan hukum agama, penting bagi Anda mempertimbangkan beberapa hal, terutama terkait masalah yang bisa saja timbul dalam perkawinan beda agama, di antaranya:

Pencatatan perkawinan

Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka akan timbul masalah mengenai pencatatan perkawinan. Apakah diurus di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil, mengigat ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda.

Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP, dia berhak menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (1) UUP.

Status anak

Jika pencatatan perkawinan beda agama ditoak, maka hal tersebut bisa berimbas pada status anak yang terlahir dalam perkawinan. Berdasarkan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya, sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP.

Menimbang berbagai hal tadi, perkawinan beda agama tidak begitu disarankan. Untuk itu pikirkan dengan seksama sebelum memutuskan untuk melangsungkan perkawinan beda agama, seperti memperhatikan sejumlah masalah yang berpotensi muncul dikemudian hari serta kemungkinan pencatatan perkawinan ditolak.

Jangan ragu juga untuk meminta pendapat dan berdiskusi dengan orang yang ahli di bidangnya, seperti konsultan hukum. Konsultan hukum akan membantu Anda dengan memberikan saran dan solusi terbaik perihal perkawinan beda agama.

Klik tombol di bawah ini untuk berkonsultasi langsung dengan mitra advokat terpercaya Justika.


Artikel ini sedang diulas oleh Konsultan Hukum dan akan diperbarui dari hasil ulasan tersebut.

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Justika. Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah ini.