Tidak Boleh Ada Sanksi, Cek Aturan Pinjam Uang Pada Fintech Syariah!

Pertanyaan:

Apakah benar tidak ada denda jika meminjam uang di fintech syariah?

Penjelasan:

Inovasi Keuangan Digital (IKD) atau yang lebih familiar dengan istilah financial technology (fintech) merupakan inovasi di bidang pelayanan jasa keuangan yang memanfaatkan teknologi. Serupa dengan layanan perbankan, fintech juga memiliki layanan syariah yang dapat menjadi pilihan bagi masyarakat Indonesia, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga kemunculan fintech syariah ini cukup menjadi lirikan bagi konsumen.

Fintech Syariah Menurut MUI

Payung hukum fintech syariah diatur Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang juga mengatur fintech konvensional. Selain POJK tersebut, yang membedakan fintech syariah adalah keharusan memenuhi acuan yang tercantum pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 117 Tahun 2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

“Penyelenggaraan layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah, yaitu antara lain tidak boleh maysir (bertaruh), gharar (ketidakpastian), dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan), tadlis (menyembunyikan kecacatan obyek akad), dharar (tindakan yang dapat menimbulkan bahaya), zhulm (perbuatan yang merugikan), dan haram”

Ragam Akad Pada Fintech Syariah

Prinsip syariah ini bukan berarti tidak adanya pembagian keuntungan yang dapat diperoleh baik bagi pihak peminjam atau pemberi modal, perusahaan fintech syariah dan peminjam bersifat kerja sama. Terdapat enam jenis akad yang diperbolehkan dan sistem bagi hasil disesuaikan dengan akad yang disepakati kedua belah pihak.

  1. Akad jual-beli (al-bai’), adanya perpindahan kepemilikan objek yang dipertukarkan (barang dan harga).
  2. Akad ijarah, adanya perpindahan hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah atau ujrah.
  3. Akad musyarakah, kerja sama antara dua pihak yang saling memberikan kontribusi dana/modal usaha dengan ketentuan keuntungannya akan dibagi rata, begitupun jika terjadi kerugian maka kedua pihak akan bertanggung jawab dengan beban yang sama.
  4. Akad mudharabah, kerja sama yang terjadi antara suatu usaha dengan pemilik modal yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola dan keuntungan usaha dibagi sesuai nisbah (rasio) yang disepakati dalam akad. Apabila terjadi kerugian, pemilik modal yang akan bertanggung jawab, kecuali terdapat keteledoran yang disebabkan peminjam.
  5. Qardh, akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara yang disepakati.
  6. Wakalah bi al ujrah, akad berupa pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (upah).

Sanksi pada P2P Lending Syariah

Selain diatur dalam DSN MUI Nomor 117 Tahun 2018, sanksi untuk nasabah untuk pembayaran atas pinjaman yang dilakukan juga diatur dalam Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 17 Tahun 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, disebutkan:

Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeure (kahar) tidak boleh dikenakan sanksi

Selain putusan tersebut, DSN MUI Nomor 17 tahun 2000 ini juga memperbolehkan adanya ta’zir (denda) untuk nasabah yang sebenarnya mampu membayar tapi sengaja menunda-nunda pembayaran. 

sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir (denda), yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya

Secara spesifik dibahas bahwa sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.  Selain itu, dana yang terhimpun berasal dari denda ini juga diharuskan untuk dikelola sebagai dana sosial. Adapun di beberapa fintech syariah yang benar-benar membebaskan denda sebagai nilai tambah yang ditawarkan kepada konsumen. Jadi, peminjam juga bisa mengembalikan pinjaman lebih cepat lalu jika ada kebutuhan bisa mengajukan pinjaman kembali. 

Saat ini, terdapat 8 perusahaan fintech syariah yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dapat menjadi pilihan aman bagi konsumen, diantaranya adalah Investree, Alami, Amartha, Duha, Ethis, Ammana, Dana, dan Qazwa.

Kenali secara spesifik aturan apa saja yang berlaku pada perusahaan fintech yang akan Anda pilih, termasuk kelebihan yang ditawarkannya. Anda juga dapat memeriksa status dari fintech syariah yang hendak dipilih pada lama OJK atau Asosiasi Fintech Syariah Indonesia untuk keamanannya. Anda juga dapat berkonsultasi langsung ke advokat-advokat yang ahli di bidangnya untuk memberikan solusi terbaik untuk Anda.

Klik tombol di bawah ini untuk berkonsultasi langsung dengan mitra advokat terpercaya Justika.

Untuk diketahui, artikel ini sedang diulas oleh Konsultan Hukum dan akan diperbarui dari hasil ulasan tersebut.


Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Justika. Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah ini.






Mengenal Fintech atau Inovasi Keuangan Digital di Indonesia

Pertanyaan:

Sekarang ini kan banyak sekali dompet atau pinjaman digital, apakah itu aman untuk digunakan?

Ulasan:

Apa sih itu fintech?

Financial Technology (fintech) menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Inovasi yang menggabungkan jasa keuangan dengan teknologi guna mempercepat dan memudahkan layanan jasa keuangan untuk konsumen.

Hadirnya fintech ini memberikan pengaruh besar terhadap perilaku konsumen karena kemudahan yang ditawarkannya yang mencakup cara pembayaran hingga transfer dana, pengumpulan dana, pinjaman dana, hingga pengelolaan aset yang mampu dilakukan dan diproses dalam waktu yang singkat. Tidak heran jika akhirnya fintech memengaruhi gaya hidup masyarakat. 

Fintech dalam regulasi OJK disebut dengan istilah Inovasi Keuangan Digital (IKD). IKD atau fintech ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.13/POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Penyelenggara IKD terdiri dari Lembaga jasa keuangan atau pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Mengenali Ragam Fintech Menurut OJK

Fintech ini tidak hanya dompet digital atau layanan kredit/pinjam online, fintech dibedakan berdasarkan kategori layanannya yang peraturannya juga memiliki regulasi tersendiri dalam OJK. Menurut OJK terdapat 5 jenis Fintech yang ada di Indonesia, diantaranya:

  1. Crowdfunding

Hadirnya teknologi ini mempermudah masyarakat untuk menggalang dana (crowdfunding) atau berdonasi untuk program sosial atau pun dalam menginisiasi gerakan. Crowdfunding ini sedang populer di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu contohnya yang dilakukan oleh berbagai public figure, Rachel Venya, dalam merespon situasi darurat setelah bencana banjir yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT).

  1. Microfinancing

Microfinancing adalah salah satu layanan keuangan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk membantu kehidupan dan keuangan mereka sehari-hari. Cara kerja microfinancing ini berusaha menjembatani masyarakat yang pada golongan ekonomi ini kebanyakan tidak memiliki akses ke Lembaga perbankan dengan menyalurkan secara langsung modal usaha dari pemberi pinjaman kepada calon peminjam. Sistem bisnisnya pun dirancang agar return tetap bernilai kompetitif bagi pemberi pinjaman, tapi juga tetap bisa dipenuhi oleh peminjamnya. 

Jangkauan dari microfinancing ini juga bisa hingga daerah-daerah pedesaan dan berbasis usaha mikro. Seperti Amartha yang menghubungkan pengusaha mikro di pedesaan dengan pemilik modal secara online.

  1. P2P Lending Service

Peer to Peer Lending Service atau lebih dikenal untuk peminjaman uang. Konsumen bisa dengan mudah meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus melalui proses yang Panjang dan berbelit-belit seperti yang sering dialami di bank-bank konvensional. Saat ini sudah banyak sekali fintech yang bergerak dalam bidang peminjaman uang seperti Kredivo atau Cicil yang memberikan fasilitas cicilan digital dengan aman dan mudah. 

Fintech P2P telah diatur secara spesifik  pada POJK No.77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Pada Pasal 6 termuat batas maksimum total pemberian pinjaman dana yang dapat dilakukan pada P2P ini sebesar Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Penerima pinjaman harus berasal dan berdomisili di Indonesia yang dimuat pada pasal 15, sedangkan pemberi pinjaman diatur pada pasal 16 dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri.

  1. Market Comparison

Hadinya FinTech bisa membuat konsumen lebih mudah untuk membandingkan berbagai macam produk keuangan antar penyedia jasa keuangan. Selain itu, fungsinya juga sebagai perencana finansial dan mendapatkan beberapa pilihan investasi untuk kebutuhan di masa depan.

  1. Digital Payment System

Kegunaan FinTech satu ini menjadi yang paling banyak digunakan oleh konsumen berupa penyediaan layanan pembayaran semua tagihan seperti pulsa & pascabayar, kartu kredit, atau token listrik PLN. PayFazz salah satu contoh FinTech yang bergerak dalam digital payment system untuk membantu masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tidak memiliki akses ke bank guna melakukan pembayaran berbagai macam tagihan setiap bulanan.

Menilik Regulasi FinTech di Indonesia

Sejauh ini, selain OJK yang secara khusus menerbitkan berbagai peraturan mengenai penyelenggaraan fintech, Bank Indonesia (BI) juga telah mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017/ tentang Penyelenggaraan Teknolgi Finansial. Jika pada OJK membagi fintech menjadi 5 jenis, BI mengkategorikan ke dalam 6 kegiatan fintech, antara lain:

  1. E-money 
  2. E-wallet
  3. Payment gateway
  4. Peer to Peer (P2P) Lending
  5. Marketplace Asuransi
  6. Marketplace Reksadana

Apakah aman menggunakan layanan fintech ini bagi konsumen?

Hadirnya aturan baik dari OJK maupun BI sebagai payung hukum fintech menjadi jaminan perlindungan bagi konsumen untuk menggunakan inovasi keuangan digital ini. Adapun hal yang harus diperhatikan oleh konsumen sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa ini adalah dengan memeriksa terlebih dahulu penyelenggara fintech yang akan dipilih terdaftar atau tidak di OJK.

Saat ini, per Februari 2021 menurut Data Statistik OJK menunjukan terdapat 148 penyelenggara fintech Lending yang terdaftar dan memiliki izin operasi dari OJK yang terbagi dalam 4 jenis FinTech Lending, diantaranya:

  • 96 fintech konvensional terdaftar
  • 42 fintech konvensional berizin
  • 7 fintech syariah terdaftar
  • 3 fintech syariah berizin

Jika Anda berkeinginan untuk menggunakan salah satu dari layan fintech ini namun masih memiliki keragu-raguan dalam memeriksa kesesuaian antara kesepakatan yang diatur oleh penyelenggara fintech dengan regulasi yang berlaku, Anda dapat berkonsultasi langsung ke advokat-advokat yang ahli di bidangnya  akan memberikan solusi terbaik untuk Anda. 

Klik tombol di bawah ini untuk berkonsultasi langsung dengan mitra advokat terpercaya Justika.

Untuk diketahui, artikel ini sedang diulas oleh Konsultan Hukum dan akan diperbarui dari hasil ulasan tersebut.


Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Justika. Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah ini.