Omnibus Law = Hukum Sapu Jagad
Mungkin banyak yang belum familiar dengan kata “Omnibus Law”, kecuali mungkin bagi orang yang menekuni bidang hukum. Omnibus law menjadi hangat diperbincangkan di kalangan praktisi hukum setelah pidato pertama Presiden Joko Widodo saat pelantikan presiden berlangsung.
Istilah tersebut merupakan konsep hukum dimana membuat satu peraturan undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Omnibus Law ini menjadi salah satu program kerja prioritas dari Presiden Joko Widodo pada periode kali ini.
Konsep ini ditujukan untuk melakukan standarisasi pasal-pasal yang bermasalah dalam 71-74 Undang-Undang sektoral yang diharapkan menjadi solusi dari kodifikasi hukum. Pertanyaannya, apakah semudah itu untuk melakukan penggantian puluhan Undang-Undang?
Di Indonesia sendiri sebenarnya konsep ini masih sangat asing, tetapi untuk beberapa negara yang menganut hukum Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat, Canada, Irlandia dan Singapura sudah menerapkan Omnibus Law.
Contohnya pemerintah Amerika Serikat menggunakan konsep ini untuk mengatur isu-isu sektoral seperti keuangan. Walaupun belum dijalankan secara praktis di Indonesia, konsep Omnibus Law ini pernah sekali digunakan pada UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara langsung.
Selain UU 7/2017, ada juga Undang-Undang yang menggunakan konsep Omnibus law ini, yaitu UU 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Sistem Krisis Keuangan yang langsung menggantikan beberapa ketentuan dalam UU Perbankan yang sudah ada.
Walaupun dilihat sebagai solusi, tetapi konsep Omnibus Law ini juga memiliki potensi resiko masalah. Cakupannya yang sangat luas dinilai dapat memunculkan peluang yang banyak untuk judicial review. Pada periode ini, isu yang ingin dibahas oleh pemerintah Indonesia melalui konsep Omnibus Law adalah penanganan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Karena pada saat ini peraturan yang mengatur tentang UMKM tersebar di beberapa peraturan sektoral yang berbeda, jadi harus dilakukan standarisasi.
Sebagai contoh kriteria usaha yang dapat disebut UMKM. Pemaknaannya berbeda-beda di beberapa badan pemerintahan. Dalam pengartian BPS, usaha mikro diartikan sebagai usaha yang memiliki 1-4 orang tenaga kerja. Berbeda dengan Kementerian Keuangan yang mempunyai definisi lain, yaitu “Pengusaha Kecil” yang diartikan usaha yang sudah berjalan 1 tahun dan penerimaan kotornya kurang dari 4,8 miliar rupiah.
Untuk memfasilitasi Omnibus Law ini, yang yang harus dilakukan oleh pemerintah sebaiknya merevisi UU 12/2011 tentang Pembentukan Undang-Undang. Jika pemerintah merevisi UU ini, maka pelaksanaan Omnibus Law dinilai akan jauh lebih efektif dalam pelaksanaannya.
Sebagai suatu konsep hukum yang belum pernah dijalankan secara formal di Indonesia, tentunya konsep ini akan mendapatkan banyak tantangan.